Pertanyaan menggelitik dalam suatu judul berita yang dipublikasikan oleh beberapa media tanah air terkait kasus yang dialami oleh salah seorang pemimpin di negeri ini adalah "lebih baik mana pemimpin yang tegas terhadap koruptor dan bersih dari korupsi namun kurang santun dalam berbicara, dengan pemimpin yang santun dalam berbicara namun tak bebas dari korupsi?". Kontan berhamburan komentar menanggapi artikel tersebut. Banyak yang memilih opsi kedua. Namun tak kalah banyak juga yang memilih opsi yang pertama. Tak sedikit komentator berbalas komentar, masing-masingnya saling hujat dan caci maki.
Kalau saya disodorkan pertanyaan seperti diatas, maka saya akan menjawab: dua-duanya tidak ada yang baik. Kalau tidak ada yang baik berarti tidak ada yang lebih baik. Sehingga pertanyaan diatas lebih pas apabila diganti redaksinya diawal kalimatnya dengan "Mana yang lebih jelek...".
Ya, menurut saya dua-duanya memang tidak ada yang baik. Kalau ada orang yang kembali bertanya, "bila tidak ada di dunia ini calon pemimpin kecuali harus memilih dari dua orang yang masing-masing memiliki kriteria sebagaimana yang tersebut dalam pertanyaan diatas, mana yang anda pilih?" maka saya akan menjawab, pertanyaan Anda tidak bermanfaat dan tidak penting untuk dijawab. Sebab, anda mengkondisikan sesuatu hal yang tidak ada dan hanya mengandai-andai semata dan belum tentu kondisi tersebut riil Anda. Atau saya dapat juga menjawab, "Saya akan memilih pemimpin yang bebas dari korupsi, tegas terhadap koruptor dan santun dalam berbicara".
Di negara ini, saya yakin masih banyak orang-orang yang memiliki potensi dan kriteria yang baik seperti diatas. Kalaupun sampai saat ini, pemimpin-pemimpin yang terpilih lebih banyak mengecewakan akan tetapi bukan berarti tidak ada pemimpin yang memuaskan para pemilihnya dan semua pihak. Sebab, sememangnya semenjak dahulu sistemnya sendiri yang tidak mendukung untuk mendapatkan pemimpin yang ideal.
Sedangkan pemimpin yang meskipun bebas korupsi dan tegas terhadap koruptor namun tidak santun dalam berbicara dan tidak beradab dalam bersikap, bagaimana bisa disebut sebagai pemimpin yang layak dijadikan panutan. Justru yang ada, pemimpin yang demikian akan ditiru oleh orang-orang awam yang menjadi bawahannya. Demikian pula pemimpin yang memiliki kriteria yang satunya sebagai pembanding, juga tidak layak dijadikan panutan.
Setipe dengan pertanyaan diatas adalah pertanyaan tentang jilbab sebagai alibi bagi orang yang yang enggan berjilbab, yakni "lebih memilih mana, orang yang nggak berjilbab tapi hatinya berjilbab alias berakhlak dengan orang yang berjilbab tapi akhlaknya bejat?analogi dengannya juga, pertanyaan, "lebih memilih mana orang yang sholat tapi akhlaknya bejat dengan orang yang nggak sholat tapi akhlaknya baik?".
Maka tentu sebagai seorang muslim yang dihasung oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar memiliki cita-cita setinggi mungkin yakni surga firdaus sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu sabdanya, tentu akan memilih opsi yang seideal mungkin sekalipun bahkan tidak ada dalam opsi yang ditawarkan. Kita jawab saja, memangnya kamu Tuhan yang bisa menakdirkan atau menentukan segala sesuatu kondisi sehingga dengannya terbatasi suatu pilihan yang tidak ada pilihan lain selain pilihan yang Anda tetapkan? Bukankah sebuah keputusan dari sebuah ucapan dan tindakan dalam kehidup anda sehari-hari berangkat dari pilihan-pilihan yang menggelayut di kepala. Maka, saya memilih orang yang sholat dan akhlaknya baik. Demikian pula, orang yang berjilbab juga akhlaknya baik.