Jagad maya makin kemari saya rasakan makin rame. Ya, rame dengan perseteruan dua kubu yang saling menyerang. Selalu saja muncul kasus-kasus baru yang memantik perang opini dan komentar di media sosial ataupun di kolom komentar situs dan youtube. 

Yang membuat saya heran seribu heran, kenapa ada orang yang selalu membela membabi buta pihak-pihak yang menjadi biang kerusuhan tanpa pernah berusaha meluruskan pendapatnya yang nyeleneh. Mustinya kalau mau bersikap adil, mereka bisa menasehati atau mengkritik pihak-pihak yang dipandang melampaui batas dalam bernahi mungkar namun sepatutnya mereka juga berani meluruskan opini yang menyimpang kepada masyarakat agar tidak terombang-ambing dalam kebingungan. 

Yang ada sekarang ini, yang mencintai hilang sikap kritisnya terhadap yang dicintainya. Sementara yang membenci, hilang sikap objektifitasnya kepada yang dibenci. Akibatnya, anda bisa menyaksikan sendiri betapa perseturuan dua kubu tak kunjung berakhir.

Yang membuat miris bagi saya adalah adanya tokoh-tokoh yang dipandang intelektual dan cendekia turut menyebarkan opini-opini di media sosial yang membenarkan sikap atau perkataan seorang tokoh publik yang secara nalar sederhana saja tidak dibenarkan.  Yang nambah nyesek lagi, buanyak sekali follower dan likernya. Betapa banyaknya masyarakat yang dibuat tersesat secara pemikiran dan jalan hidup. 

Bayangkan, bagaimana tidak seorang yang bergelar profesor membenarkan ucapan Nusron Wahid yang mengatakan bahwasanya yang mampu menafsirkan Al-Quran hanya Allah dan Rasul-Nya. Yang tau betul maksud dari perkataan seseorang, yaa yang mengatakan bukan orang lain yang mendengarkan. Siapapun tidak boleh menyimpulkan maksud perkataan orang yang berkata terlebih menjastifikasinya kecuali harus tabayyun dulu. Demikian, apa yang disampaikan Nusron Wahid dalam program diskusi di salah satu televisi swasta. 

Sebenarnya tidak perlu bergelar profesor untuk menilai logika cacat seperti itu. Bahkan saya yakin, lulusan SMA pun yang masih fitrah nalarnya akan dengan sangat mudah menilai bahwa logika itu cacat.

Kalau demikian opininya, mau dikemanakan ribuan hadits yang termaktub dalam kitab-kitab hadits warisan para ulama salaf yang diantara fungsinya menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang masih global?

Mau dicampakkan kemana, ijma  (kesepakatan) para ulama mufassirin yang demikian gigih mengumpulkan penjelas-penjelas Al-Quran berupa hadits-hadits Nabi yang shahihah lalu menuangkannya dalam kitab-kitab tafsir mereka?

Kalau anda mengatakan, bukankah di antara satu tafsiran dengan tafsiran yang lain juga banyak yang berbeda? kita katakan, yang sama jauh lebih banyak dari yang berbeda dan yang berbeda pun hanya berbeda dalam konteks yang saling menguatkan bukan saling mempertentangkan.

Inilah bahayanya paham relativisme yang merupakah salah satu pondasi dasar pemahaman liberalisme. Tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini. Kebenaran mutlak hanya di tangan Tuhan.

Ketahuilah, puncak dari paham relativisme ini adalah mengenyahkan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar yang merupakan kewajiban agung yang dimiliki oleh Islam. Manusia tidak berhak menilai salah dan benarnya amalan orang lain karena setiap manusia memiliki tafsiran sendiri-sendiri terhadap amalan dan perbuatan yang dilakukannya.

Demikian pula, tidak seorang pun boleh melarang-larang perbuatan (maksiat) yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan boleh jadi seseorang tersebut memiliki pemahaman dan penafsiran yang berlainan dengan yang dipahami oleh yang melarang. Dan itu adalah hak asasi setiap manusia yang hanya Tuhan yang Maha Tau salah dan benarnya. 

Demikian itulah di antara pemahamanan relativisme yang muaranya akan merontokkan seluruh syariat Islam yang tercakup pada dua perkara yakni perintah dan larangan. 

Namun percayalah, masih tetap ada ulama robbani sebagai suluh yang menerangi di permukaan bumi yang akan senantiasa meruntuhkan argumentasi lemah mereka bak lemahnya sarang laba-laba.