Hiduplah seperti air, mengalir begitu saja mengikuti saluran dimana dia dibawa. Demikian kata bijak yang mungkin pernah kita baca atau dengar. Jika yang dimaksud pernyataan itu adalah hidup mengikuti catatan takdir yang ditetapkan padanya serasa tidak melupakan aspek ikhtiar dan tawakal maka itu baik. Namun jika yang dimaksud adalah hiduplah yang biasa-biasa saja, tak usah ngoyo, ikutin saja catatan takdirnya, maka ini yang perlu kita tinjau ulang. Hidup kita di dunia ini cuman sebentar. Ya, sebentar meski dikatakan berumur 60 tahun, 70 tahun, bahkan 100 tahun sekalipun. Kenapa demikian? sebab jika dibandingkan dengan hidup setelahnya yakni di akhirat kelak yang tak berhingga bilangannya maka nilai 100 tahun tak ada apa-apanya. Oleh sebab itu, dengan hidup di dunia yang begitu singkat ini, tentu kita sebagai makhluk yang berakal tidak ingin hidup yang biasa-biasa aja apatah lagi hidup yang sia-sia atau minim manfaat jika tidak ingin dikatakan nihil manfaat.
Lantas, bagaimana agar hidup kita tidak minim atau nihil manfaat? Tidak ada jawaban lain selain mengoptimalkan waktu yang merupakan modal bagi setiap manusia agar bisa memberi manfaat kepada diri sendiri, orang lain dan yang lebih penting lagi, agama.
Agar bisa memberikan manfaat kepada diri sendiri, nikmat waktu yang Tuhan berikan kepada setiap manusia sudah sepatutnya digunakan untuk belajar dan menuntut ilmu. Menuntut ilmu bertujuan untuk menghilangkan kebodohan pada diri sendiri. Selain itu, dengan ilmu yang diperolah dari belajar tersebut, dapat menuntun dan menunjuki manusia untuk dapat bekerja dan beribadah dengan baik. Bagaimana manusia dapat bekerja secara profesional dan dapat beribadah sesuai syariat dan tuntunan Rasulullah jika tidak mengilmui bidang pekerjaan atau jenis ibadah yang sedang ditunaikan.
Agar bisa memberikan manfaat kepada orang lain, maka kaidahnya adalah memiliki sesuatu yang bisa diberikan. Dengan kata lain, bagaimana bisa memberikan sesuatu jika tidak memiliki sesuatu itu. Memberikan sesuatu tidak harus berupa harta memang. Bisa berbentuk lain seperti tenaga atau sumbangsih pemikiran atau gagasan. Nah, selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kita bisa memberikan pemberian yang bernilai jariyah agar manfaat yang dirasakan oleh orang yang kita beri dan tentunya buat kita juga, bersifat berkesinambungan.
Contoh, jika kita mampu mensedekahkan harta kita untuk pembangunan masjid, maka manfaat yang dapat dirasakan dari harta yang kita sedekahkan, bukan hanya sesaat akan tetapi terus berkelanjutan selama masjid tersebut masih berdiri kokoh dan digunakan untuk beribadah. Jika kita memiliki suatu ilmu kemudian kita menuangkannya ke dalam tulisan atau menerbitkan dalam bentuk buku, maka selama tulisan tersebut dibaca oleh orang lain dan memberikan pencerahan, maka selama itu pula manfaat akan terus dirasakan oleh orang lain dan pahala jariyah akan terus mengalir ke tabungan pahala kita sungguhpun kita sudah berada di dalam pusara. Karena itu, amal jariyah adalah usia kedua kita.
Adapun agar kita bisa memberikan manfaat kepada agama kita, maka hal tersebut dapat menjadi irisan dengan kebermanfaatan diri kita untuk orang lain. Selama manfaat yang kita berikan mampu memotivasi orang lain untuk menegakkan agamanya dan mencerahkan orang lain agar lebih baik lagi agamanya maka bisa dikatakan kita telah memberikan manfaat kepada agama kita.