Hingga kini pasca pelantikan presiden RI periode 2014-2019, masih banyak saya temukan artikel-artikel bersileweran di beranda fb saya, membeberkan kesalahan-kesalahan presiden kita di muka publik. Tak ayal, banyak tanggapan-tanggapan negatiif tentangnya dan tak sedikit pula yang meng-counter artikel atau status yang dibuat hingga perang mulut di dunia maya tak terelakkan.
Sekali dua kali, kita menganggapnya khilaf saja. Namun realitanya terjadi berulang-ulang. Mungkinkah agama kita tidak mengaturnya? Padahal kita yakin bahwasanya aspek apapun dalam kehidupan kita sampai-sampai tata cara buang air saja sudah diatur. Mungkinkah cara menyampaikan kritik terhadap pemerintahan terpilih yang merupakan perkara yang lebih besar tidak diatur? Tidak mungkin!!!
Lantas kalaulah kita tanyakan kepada mereka yang getol dan hobi mengkritik dan mengumbar aib pemimpin di muka publik, bagaimana islam mamandang kritik seseorang atau kelompok terhadap pemerintah?Akankah mereka mendapati jawabannya? Kalau tidak, lantas apa yang mendasari setiap tindakan dan sikap yang diambil?
Berdasarkan penyikapan terhadap pemilihan kandidat presiden dan pemimpin secara umum, hingga terpilih dan bekerjanya seorang pemimpin, beberapa kelompok manusia terklasifikasikan sebagai berikut:
[1] Tidak memuji dan tidak pula mengkritik alias easy going saja. Kelompok ini biasanya dihuni oleh mereka-mereka yang kurang cukup pengetahuan atau wawasan terhadap kandidat dan juga proses yang dilaluinya. Yang termasuk dari kelompok ini biasanya ibu-ibu dan bapak-bapak di kampung yang jauh dari arus informasi . Prinsipnya mereka sederhana, siapapun yang terpilih semoga bisa memihak kepada wong cilik.
[2] Mengkritik dan membeberkan aib kandidat sebelum dan setelah terpilihnya dan bertugasnya.
[3] Mengkritik dan membeberkan aib salah satu kandidat yang dipandang lebih banyak keburukannya sebelum terpilihnya sebatas fakta dan realita yang ia ketahui dan menahan diri dari mengumbar aib-aibnya setelahnya yang justru kandidat itulah yang memenangkannya (baca: terpilih)
[4] Memuji kandidat yang menang sebelum terpilihnya dan mengkritik setelah terpilihnya lantaran banyaknya kekecewaan yang dibuatnya.
Lantas bagaimana islam, Rasulullah dan para ulama pewaris para nabi menuntun kepada umatnya terkait penyikapan mereka terhadap pemerintahan (pemimpin, red) terpilih?
Apakah jika kita dapati pemimpin yang tidak kita senangi, yang tidak sesuai harapan kita, lantas kita berontak? Ternyata tidak. Jalan nubuwwah memerintahkan kita untuk tetap taat dan bersabar terhadapnya.
Perhatikan hadits berikut,
عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِىٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنَ الْحَجَّاجِ فَقَالَ « اصْبِرُوا ، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِى عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ » . سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ – صلى الله عليه وسلم -
Dari Az Zubair bin 'Adiy, ia berkata, "Kami pernah mendatangi Anas bin Malik. Kami mengadukan tentang (kekejaman) Al Hajjaj pada beliau. Anas pun mengatakan, "Sabarlah, karena tidaklah datang suatu zaman melainkan keadaan setelahnya lebih jelek dari sebelumnya sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian. Aku mendengar wasiat ini dari Nabi kalian shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Bukhari no. 7068).
Hadits di atas menunjukkan tidak bolehnya keluar dari ketaatan pada pemimpin, siapa pun dia selama ia memerintahkan selain dalam perkara maksiat.
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa menolak masfadat (kerusakan) yang lebih besar dengan mengambil mafsadat yang lebih ringan. Seandainya Anas bin Malik mewasiatkan untuk memberontak tentu akan timbul kerusakan yang besar ketika itu. Namun beliau perintahkan untuk bersabar sebagaimana wasiat Nabishallallahu 'alaihi wa sallam.
Intinya, kita sebagai rakyat tetap taat pada Presiden yang terpilih, siapa pun itu, meski tidak kita sukai. Dalam hadits disebutkan,
عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
"Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat." (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Selama Presiden tersebut seorang muslim dan mengerjakan shalat, wajib ditaati. Dari 'Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo'akan kalian dan kalian pun mendo'akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." Kemudian ada yang berkata, "Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya." (HR. Muslim no. 1855)
Dan, lihat dan baca juga pendapat para ulama Robbani berikut:
Al Imam Ibnu Hajar menjelaskan riwayat ini :
Shahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam Abdullah Bin Umar radhiyallahu'anhu membai'at Abdul malik bin marwan termaktub dalam kitab fathul bari, Yang mana sebelumnya Abdul malik bin marwan bersengketa kekuasaan dengan Abdullah bin Zubair, namun yang menang adalah Abdul Malik sehingga kekuasaan beralih padanya lalu Abdullah Bin Umar membaiatnya .
"Ahli fiqih sepakat atas wajibnya menta'ati penguasa yang menang ketika merebut kekuasaan dan wajib berjihad bersama penguasa terpilih, dan menta'ati penguasa yang menang lebih baik dari pada mengkudeta".
Al Imam asy Syafi'I dalam manaqibnya berkata :
"Siapapun yang menang dalam merebut kekuasaan meskipun melalui peperangan, dan yang memenanginya disebut penguasa dan manusia bersepakat atas kemenangannya maka ia adalah penguasa".
Dan banyak perkataan ulama salaf yang sejenis seperti al Imam asy Syaukhani, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyyah, Syaikh Muhammad bin abdul wahhab dan selainya –semoga Allah merahmati mereka-.
Dengan demikian junjunglah tinggi-tinggi prinsip agama kita bahwa wajibnya ta'at kepada penguasa terpilih setelah dilantik nantinya.
Dan ketahuilah kita telah menunaikan apa yang kita pilih semata-mata bukan untuk tujuan politik, bukan untuk kepentingan kekuasaan melainkan kita berpartisipasi pemilu hanya untuk memilih kemadharatan terkecil untuk kemashlahatan kaum muslimin dan tidak lebih dari itu.
maka sekiranya hasil berbeda dari apa yang kita pilih hendaknya kembalikan kepada prinsip islam yang telah disebutkan diatas bukan dengan kudeta, bukan dengan menjelek-jelekan lembaga KPU yang merupakan bagian dari lembaga pemerintahan yang sah, dan sejenisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar