Sebagaimana terdapat dalam ayat Al-quran yang terpanjang yang menerangkan tentang waris, ayat tentang muamalah lainnya seperti jual beli dan hutang piutang juga tidak kalah panjang, dimana sampai-sampai Allah Jalla Jalaluh menjelaskan secara detail kaifiyatnya atau tata caranya. Padahal dalam ibadah-ibadah lainnya yang notabene lebih asasi karena merupakan rukun islam, seperti Sholat, zakat, puasa dan haji, Allah Jalla Jalaluh hanya menyebutkan secara global saja. Adapun kaifiyatnya diterangkan secara rinci dalam hadits2 Nabi yang mutawatir. Mengapa demikian? Apakah ini berarti bahwa ibadah-ibadah yang lebih asasi tersebut, tidak lebih mulia daripada muamalah? Tentu saja tidak. Tidaklah Allah menjelaskan secara detail dan langsung dalam kalamnya kecuali mengandung hikmah yang sangat agung. Allah menunjukkan kepada manusia bagaimana Islam memberikan perhatian yang sangat besar akan penjagaan hak-hak dan hubungan manusia. Bagaimana apabila diantara manusia sudah mengabaikan hak-hak selainnya dan hanya menuntut haknya sendiri? Maka kita pun bisa membayangkan betapa kacaunya dunia ini.
Oleh karenanya mari kita simak ayat tersebut dan semoga kita dapat mendulang faidah yang demikian banyak yang mampu dikeluarkan oleh ulama tafsir abad ini Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di meski hanya satu ayat tersebut:
Dimana Allah berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلْ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنْ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْوَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمْ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
Tafsir Ayat dan Faidah yang dapat dipetik:
Ayat-ayat ini meliputi petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam muamalah di antara mereka yaitu pemeliharaan dan kemaslahatan yang oleh orang-orang yang ahli pikir pun tidak mampu memberikan sarannya yang lebih baik dan lebih sempurna darinya, karena di dalamnya banyak sekali faidah-faidahnya, di antaranya:
[1] Bolehnya muamalah dalam bentuk hutang piutang, baik berupa hutang-hutang salam [1] atau pembelian barang yang harganya ditangguhkan, semua itu boleh dilakukan, karena Allah Ta'ala telah mengabarkannya berkaitan dengan kaum Mukminin, dan apapun yang Allah kabarkan tentang kaum Mukminin, maka sesungguhnya hal itu termasuk konsekuensi keimanan dan telah ditetapkan juga hal itu oleh Allah Yang Maha Kuasa.
[2] Wajibnya menyebutkan tempo pembayaran dalam seluruh transaksi hutang piutang dan masa penyewaan.
[3] Bahwasannya apabila tempo itu tidak diketahui, maka itu tidak halal, karena itu (sangat rentan) adanya tipu daya dan berbahaya, maka hal itu termasuk dalam perjudian.
[4] Allah Ta'ala memerintahkan untuk mencatat (dokumentasi) hutang piutang. Perkara yang satu ini terkadang menjadi wajib yaitu apabila wajib memelihara hak seperti milik seorang hamba yang wajib atasnya perwalian contohnya harta anak yatim, wakaf, perwalian, amanah, dan terkadang juga mendekatiwajib sebagaimana bila hak itu semata-mata milik seorang hamba. Dan terkadang juga lebih berat kepada wajib dan terkadang lebih berat kepada sunnah, sesuai dengan kondisi yang dituntut untuk masalah itu. Dan pada intinya pencatatan itu adalah merupakan perangkat yang paling besar dalam menjaga muamalah-muamalah yang tertangguhkan karena rentan terjadi kelupaan dan kesalahan, dan sebagai tindakan pencegahan dari orang-orang yang tidak amanah yang tidak takut kepada Allah Ta'ala.
[5] Perintah Allah kepada juru tulis untuk menulis antara kedua pihak yang bermuamalah itu dengan adil, ia tidak boleh condong kepada salah satu pihak karena faktor keluarga misalnya atau selainnya, atau memusuhi salah satunya karena suatu dendam dan semacamnya.
[6] Bahwasanya penulisan antara kedua belah pihak yang bermuamalah adalah diantara amala-amal yang paling utama dan tindakan kebaikan kepada keduanya. Dalam pencatatan itu mengandung pemeliharaan hak-hak keduanya dan melepasakan tanggung jawab dari keduanya seperti yang diperintahkan oleh Allah. Maka hendaklah juru tulis mencari pahala (dengan profesinya) di antara manusia dengan perkara-perkara ini agar mendapat keberuntungan dengan balasa baiknya.
[7] Hendaklah juru tulis mengetahui keadilan dan terkenal dengan keadilan, karena bila dia tidak mengerti keadilan, pastilah dia tidak akan bisa mewujudkannya, dan apabila keadilannya tidak diakui oleh orang banyak dan tidak diridhai mereka maka pastilah pencatatan juga tidak akan diakui, dan maksud yang diinginkan tidak akan terwujud yaitu pemeliharaan hak.
[8] Bahwasannya kesempurnaan dari pencatatan dan keadilan dalam muamalah itu adalah bahwa juru tulis itu ahli dalam merangkai kata dan membuat kalimat yang sesuai dalam segala macam muamalah sesuai dengan jenisnya, dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat dalam hal ini memiliki peran yang cukup besar.
[9] Bahwasanya pencatatan itu diantara nikmat-nikmat Allah terhadap hamba-hamba-Nya, di mana urusan-urusan agama dan urusan-urusan dunia mereka tidak akan lurus kecuali dengannya. Dan bahwasannya barang siapa yang diajarkan oleh Allah penulisan, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadanya keutamaan yang besar, dan menjadi kesempurnaan syukurnya terhadap nikmat Allah Ta'ala itu, agar Dia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hamba dengan pencatatan yang dilakukannya dan dia tidak boleh menolak untuk menulis. Karena itu Allah berfirman (yang artinya) "Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya."
[10] Bahwasanya apa yang ditulis oleh juru tulis itu merupakan pengakuan dari orang yang menanggung hak apabila dia mampu merangkai kata tentang hak yang wajib atas dirinya tersebut. Namun apabila ia tidak mampu akan hal itu karena umurnya yang masih kecil atau kebodohannya, ketidakwarasannya, kebisuannya, atau ketidakmampuannya, maka waliny harus melakukannya untuknya, dan walinya itu sebagai wakil dirinya dalam hal tersebut.
[11] Bahwasanya pengakuan itu adalah jalan yang paling besar dalam menetapkan suatu hak, di mana Allah Ta'ala memerintahkan kepada juru tulis untuk menulis apa yang didektekan oleh orang yang menanggung hak orang lain.
[12] Penetapan perwalian bagi orang-orang yang tidak mampu seperti anak kecil, orang gila, orang bodoh dan semacamnya.
[13] Bahwasanya seorang wali itu posisinya sama seperti posisi orang yang diwalikannya dalam segala pengakuannya yang berkaitan dengan hak-haknya.
[14] Bahwasanya orang yang Anda percaya dalam suatu muamalah dan Anda serahkan urusan itu kepadanya, maka perkataannya dalam perkara itu dapat diterima, karena dia adalah pengganti diri Anda, karena apabila wali itu untuk orang-orang yang tidak mampu menempati posisi mereka, maka orang yang Anda jadikan wali dengan pilihan Anda sendiri lalu Anda serahkan urusan itu kepadanya adalah lebih utama diterima dan diakui perkataannya dan didahulukan daripada perkataan Anda sendiri ketika terjadi perselisihan.
[15] Bahwasanya diwajibkan atas orang yang menanggung hak orang lain, apabila mendiktekan kepada juru tulis agar bertakwa kepada Allah dan tidak berlaku curang terhadap hak yang ditanggungnya. Ia tidak mengurangi jumlahnya atau sifatnya, atau syarat di antara syarat-syaratnya atau ukuran di antara ukuran-ukurannya. Akan tetapi ia harus mengakui setiap hal yang berkaitan dengan hak tersebut sebagaimana juga hal itu wajib atas orang lain yang menanggung hak dirinya. Barang siapa yang tidak melaksanakan itu, maka ia termasuk orang-orang yang curang lagi mencurangi (timbangan dan takaran).
[6] Bersambung . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar