Fatwa haram tentang BPJS yang baru-baru ini dikeluarkan oleh MUI mengundang kontroversi yang cukup hebat. Lebih-lebih di dunia maya, netizen berdebat keras hingga tak sedikit saling mengumpat dan menghujat. Hal ini juga tidak terlepas dari ulah media yang memprovokasi dengan judul-judul yang provokatif.
Setidaknya dua media yang berseliweran di beranda fb saya yang memposting berita tentang BPJS dengan judul yang sangat provokatif. Pertama, berita yang diposting oleh m*rde*a.com dengan tajuk "BPJS sangat bermanfaat, kenapa dilarang"?. Kontan setelah berita itu dirilis, berhamburan komentator mengomentari postingan tersebut. Tak sedikit diantara mereka yang saling umpat dan saling hujat. Padahal mungkin sebegian besar diantara mereka belum tau persis esensi berita itu, Kedua, berita dengan judul "BPJS haram, penggunanya masuk neraka" yang dirilis oleh trib*n.com juga tak kalah hebatnya debat komentatornya berbau hujatan dan umpatan.
Kalau boleh diibaratkan, masyarakat kita ini seperti jerami kering di bawah terik matahari yang diikat jadi satu kemudian diperciki sedikit api dan seketika api membesar dan semuanya habis tak tersisa. Begitulah reaksinya sebagian besar masyarakat atas berbagai problem-problem polemik yang mengemuka di lapangan.
Padahal kalau kita mau berfikir sejenak dengan akal sehat kita, mungkinkah MUI memfatwakan haram BPJS tanpa memberikan jalan keluarnya atau solusinya? tentu saja tidak. MUI menyoroti beberapa hal dalam BPJS yang BELUM sesuai syariat. Dan sekaligus MUI menawarkan solusinya. Bukankah ini yang diharapkan kita semua? Lalu mengapa kita tanpa berfikir panjang menghujat MUI dan mengamini postingan dari admin media majhul yang tak lain hanyalah sampah yang sengaja mencemari semua orang yang bergabung di dalamnya agar saling hujat dan saling maki?
Lagipula siapakan para komentator itu jika dibandingkan dengan yang di duduk di Majelis Ulama Indonesia. Apa kapasitas mereka? ulamakah?mujtahidkah? Mungkinkah para komentator itu tidak tau apa itu MUI dan apa maksud dan tujuan didirikannya MUI, sehingga mereka dengan tanpa merasa berdosa dan tak tanggung-tanggung menyudutkan dan menghujat MUI dan orang-orang yang bekerja di dalamnya.
MUI bukanlah individu yang berijtihad sendiri dan memfatwakan hukum atas berbagai perkara. MUI adalah majelis (perhimpunan) dari para ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya (ilmu dinniyah) yang maksud dan tujuan dibentuknya untuk mengarahkan dan membimbing masyarakat menyikapi perkara-perkara kontemporer yang baru muncul belakangan hari. Dengannya, masyarakat punya pegangan ketika melangkah dan menjalani hidup. Bukankah setiap orang yang mengaku beragama, menjalani setiap periode kehidupan mereka dengan dasar agama?
Beragama itu bukan atas dasar perasaan dan akal logika semata, mas mbak. Beragama itu semuanya membutuhkan dalil. Islam menjadi sempurna dan paripurna setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa Sallam. Tidak tersisa sedikitpun apa-apa yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan ke neraka kecuali semuanya telah dijelaskan (al hadits). Bahkan tata cara buang air pun sudah diatur dalam agama. Lalu bagaimana dengan perkara yang lebih besar dan lebih urgent dari itu?
Pertanyaannya sekarang, kepada siapa ketika kita hendak menanyakan hukum suatu perkara, kaifiyatnya (tata caranya) kalau bukan kepada ulama? Akankah kita mencerna dan memahami setiap perkara dengan akal pikiran dan perasaan sendiri lalu menghukumi sendiri? Bagaimana apabila kenyataanya di mata Allah justru pendapat kita menyelisihi pendapat Ijma (konsensus) ulama? Tidak takutkah kita bila ternyata penyelisihan kita terhadap pendapat ijma ulama didasari atas dasar hawa nafsu?
Makanya, jangan kita tertipu dengan apapun yang kita gunakan lantaran manfaatnya sampai benar-benar memastikan bahwa 100% halal. Tidakkah perkara haram ada meskipun sedikit kecuali di dalamnya ada mudharat. Apa yang kita pandang baik belum tentu baik di mata Allah dan sebaliknya apa-apa yang kita pandang boleh jadi baik dalam pandangan Allah. Karenanya, ketika kita berpedoman pada dalil baik dalam nash alquran maupun hadits dalam menimbang sesuatu tentunya atas bimbingan ulama, maka kita akan selamat. Nas'alullah salamatan al 'aafiyat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar