Pendidikan karakter atau non kognitif yang diberikan di sekolah tidak akan efektif membentuk karakter pribadi peserta didik apabila tidak diiringi atau ditunjang pendidikan karakter oleh orang tua di lingkungan rumahnya. Sudah barang tentu, pendidikan karakter yang ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya memegang peranan penting dalam membentuk pribadi mereka. Terlebih, pendidikan di kampus yang notabene peserta didiknya banyak yang di tinggal jauh dari orang tuanya dengan cara ngekos, meniscayakan kurangnya interaksi dengan orang tuanya. Tak ayal, krisis keteladanan dari orang tua memaksa mereka mencari jati diri dan figur dari luar. Sebab, memang pada fitrahnya seseorang itu suka meniru. Beruntung apabila ia mendapatkan figur yang pantas untuk diteladani. Bagaimana apabila sebaliknya?

Itu sebabnya, banyaknya kenakalan remaja yang terjadi khususnya di kampus, akibat kurangnya interaksi dan keteladanan dari orang tua di rumah. Bagaimana tidak, mereka tinggal ngekos, jauh dari orang tua. Pulang ke rumah paling cepat mungkin seminggu sekali. Berapa hari mereka berkumpul dengan orang tuanya. Sementara berapa hari mereka berkumpul dan berinteraksi dengan rekan-rekan sepergaulannya. Sungguh, inilah yang menjadi problem besar dalam pendidikan di perguruan tinggi di tanah air kita.

Oleh karenanya, pendidikan agama usia dini adalah sebuah keniscayaan. Tiada pendidikan karakter yang lebih baik kecuali semuanya tercover dalam pendidikan agama.  Bekalilah putra putri kita semenjak dini dengan ilmu dan aqidah yang kuat kendatipun kita harus mengeluarkan biaya besar. Sebab Ilmu akan berguna sekali buat usia dewasanya. Ilmu akan menjaganya sebagaimana pernah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib  menasehatkan tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta:

العِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، العِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، العِلْمُ يَزْكُو عَلَى العَمَلِ وَالْمَالُ تُنْقِصُهُ النَّفَقَةُ، وَمَحَبَّةُ العَالِـمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، العِلْمُ يُكْسِبُ العَالـِمَ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَصَنِيْعَةُ الْمَالِ تَزُوْلُ بِزَوَالِهِ، مَاتَ خُزَّانُ اْلأَمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي القُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ
"Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sementara harta harus engkau jaga. Ilmu akan terus bertambah dan berkembang dengan diamalkan sementara harta akan terkurangi dengan penggunaan. Dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang dipegangi. Ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya. Sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia masih hidup. Sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati manusia." (dinukil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 13-14)

Kala orang tua tidak dapat mengawasi seluruh aktivitas anaknya lantaran jauhnya dan kesibukannya , maka dengan bekal ilmu yang diberikannya, insya Allah ilmu tersebut akan menjaganya. Menjaga dalam arti menahannya dari perbuatan-perbuatan buruk dan tercela.

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri  pernah pula mengatakan:
بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
"Satu bab ilmu agama yang dipelajari oleh seseorang lebih baik baginya daripada dunia seisinya." (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 18)